Senin, 25 Oktober 2010

Anak Saya Selalu Menjadi Bahan Pembicaraan

Ditulis kembali oleh Arifin Mohammad
dari pengalaman suami-istri Krisna Suharto
dan Noviana Rinawati


Kami tak pernah membayangkan kalau Dino anak kami – bungsu dari tiga bersaudara, semuanya laki-laki – terdeteksi sebagai anak berkesulitan belajar. Masa kecilnya, tak jauh berbeda dengan kakak-kakaknya. Usia tiga tahun masuk play group di dekat rumah, tak ada masalah. Setahun kemudian bisa masuk TK. Pada usianya yang kelima, Dino mampu duduk di TK besar.

Persoalan timbul justru tatkala Dino berada di antara teman-teman seusianya. Misalnya, ketika kita sekeluarga mendatangi acara arisan keluarga. Dino tampak canggung bergaul dengan saudara-saudaranya yang seusia, menyendiri, bahkan asyik dengan kesendiriannya. Karena itu, Dino banyak dibicarakan para tamu (saudara-saudara) lainnya.

Dokter anak yang menangani Dino menyarankan agar dilakukan Tes Berra. Dari tes Berra itu tidak ditemukan sesuatu yang “istimewa” yang menyangkut pendengarannya. Artinya, Dino tidak memiliki masalah di indera pendengarannya. Normal, seperti teman-temannya yang lain.

Dari hasil tes Berra, Dino dirujuk untuk melakukan terapi wicara (speech therapy). Untuk memulainya harus dilakukan langkah observasi yang memakan waktu cukup lama, kira-kira tiga minggu. Dari hasil observasi ini, diketahui bahwa Dino terdeteksi sebagai anak autisme. Dalam hal ini, autisme ringan (mild authisme). Terus terang, kami sangat terkejut dengan hasil observasi. Tak pernah terbayangkan dalam benak saya berdua suami istri. Tapi itulah kenyataan yang terjadi.

Langkah selanjutnya, Dino harus melaksanakan terapi wicara dua kali dalam seminggu. Hasil terapi wicara tidaklah mengecewakan, Dino mulai “dapat” bicara. Hanya saja masih sering terbalik-balik kata-kata maupun kalimatnya.

Segala informasi yang menyangkut kondisi Dino terus kami pantau tak kenal lelah. Kami selalu berusaha mencari referensi tentang anak-anak semacam Dino lewat buku-buku, majalah, menonton tayangan televisi, internet bahkan kami akan “mengejar” bila ada profesional yang kompeten. Paling tidak, kami – saya, istri dan anak-anak yang lain – menjadi lebih bisa memahami bila ada anak yang memiliki masalah semacam Dino.

Perkembangan Dino secara umum cukup baik. Walau begitu, atas usul ibunya kami membawa Dino ke Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Depok. Observasi kemudian dilakukan lagi. Hasilnya, tidak begitu mengejutkan. Buah hati kami dideteksi sebagai anak ADHD (attention deficit disorder and hyperactivity) atau GPPH (gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktifitas).

Sebagai orangtua dari anak spesial, kami harus pintar mengelola rumah tangga. Tidak hanya soal keuangan serta pengaturan waktu agar semua bisa berjalan dengan baik tapi juga bagaimana menarik ulur dengan anak bersangkutan agar mau dan mampu melaksanakan program-program penanganan yang telah disepakati dengan profesional yang bersangkutan. Karena itu, kemudian salah satu dari kami, yakni ibunya harus berhenti dari pekerjaannya demi si buah hati. Bagaimanapun, ibu akan lebih mempunyai arti bagi anaknya, terlebih buat anak semacam Dino. Sejak itu, ibunya all-out menemani Dino. Kami sudah tak memusingkan bagaimana cash-flow rumah tangga, semua kami kembalikan kepada Allah SWT, Tuhan yang maha segala-galanya!

Persoalan timbul ketika Dino harus mempersiapkan diri untuk masuk jenjang sekolah dasar. Apakah Dino bisa bersekolah di sekolah-sekolah yang ada di dekat kami tinggal?
Karena itu, kami pun mencari informasi kesana-kemari dan menemukan sebuah sekolah dasar yang memang khusus untuk anak-anak berkesulitan belajar. SD Pantara yang berada di daerah Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Tanpa pikir panjang, kami langsung mendaftarkan hari itu. Ternyata, setiap calon siswa harus diobservasi. Tidak main-main, observasi ini dilakukan oleh sebuah tim yang terdiri dari guru kelas dan psikolog sekolah.

Hasil observasi tak jauh dari deteksi yang selama ini telah kami ketahui. Dino harus memasuki jenjang sekolah dasar di SD Pantara. Istilah populer buat anak semacam Dino adalah anak yang harus belajar dengan cara yang berbeda dengan anak lain alias anak LD (learning difficulties), anak berkesulitan belajar.

Kami sekeluarga bisa memahami kondisi Dino seutuhnya. Walau pada awalnya, kedua kakaknya tampak agak sulit, maklum bagaimanapun mereka adalah anak-anak juga. Dan, barangkali ini sangat penting bagi para orangtua yang memiliki anak LD semacam Dino, janganlah terlalu membebankan harapan (expectation) terlalu berat. Karena itu, kami sepakat tak terlalu muluk dalam menetapkan target untuk Dino. Paling penting, pertama-tama Dino harus mampu mandiri dalam kehidupannya nanti. Soal masa depan, semua serahkan pada yang di atas, Allah SWT. Masih sering terdengar ungkapan atau kata-kata yang diucapkan beberapa orang – yang memang tak memahami – terhadap perilaku anak-anak LD. Maklumilah, karena masyarakat kita memang belum memiliki apresiasi terhadap anak-anak LD. Kewajiban kita semua untuk menyebarluaskan keberadaan anak-anak ini.

Orangtua dari anak LD tak perlu berkecil hati, mereka adalah “karunia” sebuah berkah yang harus diterima dengan tulus dan lapang dada. Jangan pernah diingkari apa lagi merasa malu dan menutup-nutupi keberadaannya. Pasti ada skenario indah dari-Nya.

1 komentar:

  1. memiliki anak 'normal' saja masih banyak orangtua yg mengeluh, apalagi memiliki anak spesial, ga kebayang deh beratnya! SALUT buat para orangtua anak spesial!! tetap semangat selalu!!

    BalasHapus